Kabut pagi di Bukit Tigapuluh selalu datang tanpa suara. Tapi keheningan itu tidak pernah berarti kosong. Di satu titik perlintasan, suara langkah binatang dan denting embun dari pucuk daun bisa lebih tajam dari keramaian kota. Di tempat seperti ini, saya belajar bahwa bukan hanya suara yang penting, tapi juga perhatian—dan diam yang mengasah rasa ingin tahu.

Saya bekerja di bentang alam ini sebagai bagian dari irama yang telah lebih dulu ada. Fokus utama saya adalah penggunaan teknologi bioakustik untuk memantau kehadiran satwa, khususnya gajah Sumatra. Perangkat ini memungkinkan suara-suara hutan terekam tanpa kehadiran langsung manusia, sehingga meminimalkan gangguan terhadap satwa dan meningkatkan peluang deteksi yang berkelanjutan. Sebelum memasang perangkat, saya terbiasa memeriksa jejak gajah lebih dulu, seperti bekas pijakan di lumpur atau batang pohon muda yang patah. Di bentang alam seperti ini, kehati-hatian bukan hanya prosedur teknis—tapi juga naluri bertahan.

Metode bioakustik ini masih dalam tahap pengembangan dan pengujian. Di Bukit Tigapuluh, kami tengah menapaki fase awal untuk menjadikannya bagian dari sistem pemantauan yang berkelanjutan. Pendekatan ini kini digunakan secara luas dalam konservasi sebagai metode non-invasif untuk merekam keberadaan spesies kunci. Penelitian menunjukkan bahwa perekaman suara pasif tidak hanya efektif untuk mendeteksi kehadiran satwa di lanskap luas, tetapi juga membantu memetakan preferensi habitat. Ini sejalan dengan arahan kebijakan pemantauan populasi yang diusung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Gajah Sumatra sendiri kini berstatus Kritis menurut Daftar Merah IUCN, menandai urgensi pendekatan yang lebih peka terhadap keseimbangan ekologis.

Hubungan Manusia dan Alam

Dalam proses pemasangan alat, saya juga berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Interaksi ini membuka ruang pembelajaran yang tak kalah penting dari aspek teknis. Banyak hal yang saya pelajari bukan dari layar komputer, melainkan dari percakapan sore di beranda rumah penduduk, dari penunjuk arah yang mereka berikan di jalur hutan, atau dari cerita tentang perjumpaan mereka dengan satwa di ladang mereka sendiri.

Solar panel merupakan bagian dari set peralatan untuk mendeteksi keberadaan satwa, sebagai sumber energi.

Sekali waktu, saya sendiri berjumpa langsung dengan harimau. Ia muncul di kejauhan, melintas cepat dan nyaris tanpa suara. Tak lebih dari lima detik. Tapi detik-detik itu terasa seperti pertukaran diam antara dua makhluk yang sama-sama waspada. Dan sejak itu, saya tidak pernah benar-benar merasa sendiri di dalam hutan.

Dari pengalaman itu, saya semakin yakin: teknologi, betapapun canggihnya, hanyalah alat bantu—bukan fondasi. Rasa memiliki terhadap upaya konservasi tidak tumbuh dari partisipasi teknis semata. Ia tumbuh dari proses bersama: dari waktu yang dihabiskan tanpa agenda tersembunyi, dari kehadiran yang tidak menggurui, dan dari dialog yang terbuka.

Kerja Konservasi yang Sejati

Kualitas hubungan sosial sering kali menjadi faktor pembeda antara program yang bertahan dan yang gagal. Kajian sosial-ekologis telah menunjukkan bahwa keterlibatan komunitas lokal yang bermakna adalah prasyarat bagi keberlanjutan konservasi jangka panjang. Di banyak wilayah, pendekatan berbasis relasi terbukti lebih kokoh daripada intervensi satu arah. Ini diperkuat oleh kebijakan nasional melalui skema Kemitraan Konservasi yang dikembangkan Direktorat Jenderal KSDAE.

Penulis dan tim survey melakukan pengecekan terhadap alat pendeteksi yang akan dipasang.

Saya tidak membawa kisah perubahan besar. Tapi saya percaya, perubahan bisa tumbuh dari hal-hal sederhana: dari kesediaan mendengar, dari kehadiran yang jujur, dari proses yang memberi ruang bagi semua suara. Menulis ini adalah bagian dari proses itu—mencatat, merefleksi, dan terus belajar dari lanskap yang saya tapaki setiap hari.

Kini, setiap kali saya berjalan di tengah hutan Bukit Tigapuluh, saya tidak hanya membawa perlengkapan kerja, tetapi juga pertanyaan yang terus menyala: Bagaimana suara hutan bisa terdengar oleh mereka yang tak pernah memasukinya? Dan bagaimana kerja konservasi bisa dirasakan sebagai ruang yang saling menghormati—bukan hanya agenda teknis yang sekadar hadir dan pergi?

Saya berharap ruang-ruang seperti Bukit Tigapuluh dapat terus menjadi tempat belajar bersama. Di sinilah kerja konservasi menemukan bentuknya: dalam ketekunan yang senyap, dalam hubungan yang terjalin pelan-pelan, dan dalam keyakinan bahwa manusia dan alam dapat tumbuh berdampingan.

Tentang Penulis
Haldo Kalyo adalah staf teknis konservasi yang bekerja di garis depan kawasan Bukit Tigapuluh. Ia fokus pada pendekatan bioakustik sebagai cara baru “mendengar” hutan—dan percaya bahwa kerja konservasi dimulai dari mendengarkan, bukan hanya mencatat. Catatan ini merupakan refleksi pribadinya, yang lahir dari pengalaman langsung di wilayah konservasi tersebut.