Bukit Tiga Puluh adalah kawasan seluas lebih dari 500.000 ha yang disebut sebagai hamparan hutan dataran rendah tropis terakhir dengan ekosistem yang utuh di tengah Pulau Sumatera sebagai habitat bagi Gajah Sumatera, Harimau Sumatera, dan Orangutan Sumatera. Kawasan ini terancam oleh pembalakan liar dan perambahan besar-besaran yang mewabahi Sumatera sejak awal dekade 80-an. Untuk membantu pemerintah mengatasi kegiatan ilegal, lembaga yang bekerja di kawasan ini harus mengerahkan strategi terbaik mereka dan berpacu dengan waktu.

Tidak sulit membayangkan bahwa puluhan tahun lalu kawasan ini adalah hamparan hutan di jantung Sumatera, di mana pohon-pohon menjulang dengan kanopi memayungi segala kehidupan di bawahnya. Sementara jauh di dalam tanah, akar-akarnya mencengkeram bumi yang subur, menyimpankan air yang dialirkan sungai dengan teratur dan adil. Hidupan liar berkembang biak dalam ekosistem yang menyediakan cukup sumber pangan dan perlindungan.

Hamparan hutan Bukit Tiga Puluh berada di dalam dua wilayah administratif, yaitu: Provinsi Jambi dan Provinsi Riau. Negara menetapkan berbagai status bagi hamparan ini yang bersesuaian dengan fungsinya, mulai dari kawasan Hutan Konservasi, hingga Hutan Produksi. Penetapan Taman Nasional Bukit Tigapuluh pada tahun 1995 diharapkan dapat mengamankan habitat bagi satwa kunci Sumatera yang terancam punah di kawasan ini. Akan tetapi sebagian besar wilayah Taman Nasional seluas lebih dari 140.000 ha ini berbukit dan terjal, sehingga hidupan liar terutama mamalia besar lebih memilih untuk mengarungi area di luar kawasan konservasi. Sementara hamparan yang cenderung lebih datar dan landai ini sudah terbagi dalam petak-petak konsesi berbagai perusahaan dan atau digerogoti ilegal loging dan perambahan.

PT Alam Bukit Tigapuluh (ABT) menjadi salah satu harapan dalam mengamankan hamparan ini agar fungsi ekosistemnya kembali seimbang. Banyak yang tidak menyadari bahwa keseimbangan ekosistem ini penting tidak hanya bagi hidupan liar, namun utamanya bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada hamparan hutan di kawasan ini. Hamparan ini menjadi hulu sungai yang mengalir jauh hingga ke pemukiman dan menjadi satu dengan Sungai Batanghari yang menjadi urat nadi bagi Provinsi Jambi.

Sejarah perusahaan ini mengakar jauh dari upaya berbagai NGO konservasi yang bekerja di kawasan ini untuk menyelamatkan bentangan hutan bukit tiga puluh. Dimulai dengan inisiatif untuk menambah luasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh, agar mencakup kantong-kantong habitat spesies dilindungi di luar kawasannya. Ketika upaya ini tidak berhasil dan pemerintah menerbitkan skema konsesi restorasi ekosistem, pilihan ini kemudian diambil. Sementara itu, upaya advokasi tetap gencar dilakukan kepada pemegang izin konsesi lain dan pemangku kepentingan di bukit tiga puluh untuk turut menjaga kawasan ini.

Sejak memperoleh izin pada Juli 2015, ABT terus berjuang melindungi kawasan konsesinya dari berbagai macam kegiatan ilegal. Untuk 60 tahun berikutnya, kedua blok hutan dengan luas total 38.665 hektar ini akan menjadi tanggung jawab ABT untuk dikelola.

Berada di bawah payung skema perizinan yang sama dengan usaha konsesi kehutanan lain, perusahaan restorasi ekosistem seperti ABT terlalu familiar dengan tudingan dan kritik. Padahal, sementara pemegang konsesi lain bergerak di bidang produksi, izin ABT adalah untuk melakukan reforestasi dan mengembalikan keseimbangan ekosistem.

Misi ini tidak mudah, karena tidak semua masyarakat memahami bahwa mereka adalah penerima manfaat utama dari upaya yang dilakukan ABT. Pengembalian keseimbangan ekosistem pada hamparan ini sangat terkait erat dengan kesejahteraan masyarakat. Hutan yang lestari berarti memastikan tersedianya sumber penghidupan secara berkelanjutan, mulai dari air dan udara bersih hingga hasil hutan bukan kayu seperti: madu, jernang, rotan dan bambu.

Ketidakpahaman serupa menjadi bahan bakar bagi kritik terhadap upaya perlindungan pada hamparan ini. Kritik yang mendesak penindakan kegiatan ilegal untuk disegerakan. Pada saat yang sama ABT dituntut untuk meniti benang yang halus antara upaya perlindungan kawasan dengan isu hak-hak atas lahan.

Namun dukungan juga banyak diberikan bagi upaya penyelamatan kepingan ekosistem yang rapuh ini. Berbagai lembaga penyandang dana telah berkolaborasi mendukung berbagai program sejak tahun 2010. Mulai dari yayasan yang didirikan oleh aktor Hollywood pemenang Oscar Leonardo Di Caprio Foundation, pebisnis Amerika Laurance S.Rockefeller Fund, hingga Pangeran Kerajaan Monaco Prince Albert II of Monaco Foundation menggalang dananya untuk pelestarian Bukit Tiga Puluh.

Selain itu, bank pembangunan Jerman dan berbagai lembaga lain, seperti: Richard and Maureen Chilton, Marshall Field, The Moore Charitable Foundation, Eric and Rae Piesner, serta berbagai donor yang memilih untuk tetap anonim turut memberikan sumbangsih bagi upaya konservasi kawasan ini.

Tulisan ini sudah diterbitkan dalam : Forest Digest Inforial | Juli-September 2019 “TUMBUH BERSAMA BUKIT TIGAPULUH”, https://www.forestdigest.com/detail/303/tumbuh-bersama-bukit-tigapuluh